Terkadang aku rindu bangun jam 8 pagi, tak peduli dengan bau badan setelah tidur semalam. Aku rindu saat membuka mata dan mencoba untuk menutupnya lagi, karna yang aku ingan hanya hangatnya kopi limaratusan diwarung sebelah untuk mengantar hariku.
Bandung 2009, pagi yang hampir sama dengan sebelumnya. Hanya berbeda dengan suara notifikasi hape nokia jadul yang tak banyak berdering tak sesering beberapa bulan yang lalu, karna ada yang sudah pergi atau entah aku yang takut bila tak pergi.
Aku rindu Bandung saat itu, bandung penuh dengan catatan yang tak ku mengerti. Penuh dengan tawa teman-teman baruku, berkumpul depan kelas sampai ngopi panas dibawah pohon rindang kampus siang itu. Berdiskusi dengan berbagai macam bahan pembicaraan, bercanda bak seorang penjajah yang menginjak seorang diantara semua yang berkumpul. Ah.. sepertinya sangat merindu mengingat saat itu.
Aku rindu bandung saat itu, udaranya masih sangat dingin dipagi hari, sampai aku tak mau melipat selimut yang memelukku semalaman. Bagaimana tidak, aku sedikit bodoh saat aku memeluk diriku sendiri setiap malam karna merasa bingung tak ada orang yang harus kupeluk meski hanya sekejap saat aku pergi untuk sejenak. Bukan sebuah penyesalan saat itu, namun keputusan yang membuatku lebih memilih bejalan seorang diri. Alasan kana kakiku masih kuat untuk berjalan sendiri tanpa kuda mesin seperti saat ini, berjalan tersenyum menjemput canda dan tawa diatas kursi meja warna putih nanti.
Hamparan kemacetan jalan, sejauh mata memandang memisahkan Bandung Majalengka yang tak tau apa yang ingin diharapkan. Berusaha kembali menuntun banyaknya cerita disetiap jalan, menyusun kembali cita yan belum sampai tercapai sampai saat itu. Bandung pagi 2009, tak menemukan keinginan yang aku harap saat pagi membuka mata.
Bandung, aku rindu bangun jam 8 pagi dan tertawa ditengah rumah menonton serial spongebob sembari menikmati kopi limaratusan dan rokok kretek hasil patungan. Aku rindu kepulan asal berisi candaan dan obrolan soal organisasi, merasa paling polos dalam diri dan menjadi pemerhati seolah menjadi orang yang sangat peduli.
Aku rasa aku rindu hanya menulis bersama lembaran kertas polos nan bergaris, menunjukan begitu alami apa yan aku tulis dengan tulisan tangan seorang laki-laki yang banyak memiliki impian disetiap pagi hari.