Wednesday, 19 September 2018

,

Depresi untuk air hujan

Hari itu langit terasa lebih panas dari biasanya, angin lebih kencang dai biasanya, bahkan awan lebih putih dari biasanya. Aku tak melihat ada gelagat air tuhan turun kebumi, entah musim kemarau memang air belum sempat turun kebumi. Angin tetap mengarahkan sebuah layangan yang terikat oleh benang dari bawah bumi, berbelok dan naik terus keatas seiring panjangnya benang dari bumi. Layangan masih begitu asik terikat oleh panjang benang itu, bahkan layangan hanya menuruti tarik ulur dari bumi. Angin meniup layangan sangat jauh, menarik sampai keatas bak menembus awan yang tak pernah akan bisa ditembus.
Siang itu, aku tak melihat ada cahaya walau matahari begitu teras menyengat tubuh dengan panasnya sampai senja tiba. Awan masih asik berjalan-jalan mengarungi luasnya langit, tak berubah warna walau matahari sesekali tertutup olehnya. Tak bosankah awan hanya berwarna putih bak kapas yang tak terkotori debu, tak terpikirkah oleh mu awan bila kau berubah warna maka bumi tak segersang siang ini. Aku rindu bebauan tanah yang khas saat kau antarkan air dari tuhan, dedaunan yang basah juga rerumputan yang semakin segar terbasahi tetesan-tetesan air dari dedaunan.
Aku tak pernah punya kekuatan untuk berdialog dengan matahari yang tetap terang disiang hari, walau dengan 4 buah mataku ini. Saat kening terus mengeluarkan keringat menanti air itu turun, sampai mataku memerah menanti air itu tak kunjung turun menghampiri bumi yang kering ini.
Senja itu aku mulai bosan melihatmu langit, karna tak kau rubah warnamu menjadi hitam legam seperti saat itu. Aku rindu air turun menetes diatas kepalaku, menetes bagai memberikanku cerita baru untuk ku tulis tentangnya. Selama itu ku tulis cerita tentang bagaimana bahagianya berdialog dengan hujan walau dibalik jendela yang berembun karna dinginnya air turun.
Wahai bumi, betapa depresinya dirimu tak pernah disapa hujan selama ini. Bila kau memiliki rasa, mungkinkah kau merasa tak nyaman dengan tanahmu yang terlalu lama kering. Rumputmu yang semakin lama menguning tak hijau seperti saat hujan. Bumi coba teriak pada teriknya matahari dilangit sana, tak terdengarkah olehnya begitu keras teriakanmu.

0 Comments:

Post a Comment