Friday, 21 September 2018

hujan tak sempat ku sambut

Hati ini, udara tak menentu dan matahari tak nampak dengan teriknya panas seperti hari-hari biasanya. Angin tak berhembus kencang, hanya serpihan debu dari jalan yang mengubah warna lantai menjadi buram. Langit tak terlihat cerah seperti biasanya, seperti pucat bak sedang didera kesakitan. Aku tak tahu mengapa langit sangat pucat, akupun tak tahu apa langit bisa merasa kesakitan. Awan sejak pagi tadi hampir sembunyikan seluruh bagian cahaya lampu langit, apakah akan turun air langit yang dinanti sejak kemarin?
Bola mataku bergerak keatas dan kebawah, ingatan berkecamuk dalam angan mengingat kembali tanda air turun dari langit. Semakin siang semakin tak ada cahaya, sampai pada waktunya panggilan sang maha kuasa untuk bersujud pada-Nya. Tiba-tiba cahaya siang itu begitu menyengat, sinarnya begitu liat bak menelanjangi seluruh tubuh yang tertutup kain. Sepertinya tak jadi turun hujan..
Teriknya matahari menembus bagian saraf-saraf lalu membuat mataku lelah menahan panasnya lampu langit itu, terpejam sejenak dalam anganku yang tersiram oleh air langit yang tak kunjung datang.
Angin meniupkan udara yang tak biasa kurasa, keringat berhenti mengalir dari kening yang terus basah sejak tadi. Gerimis air turun perlahan, angin dingin mengantar riak air keatas dedaunan. Rumput-rumput mulai bergoyang menyambut nada hujan yang akhirnya menyapa keringnya bumi, hujan kau anugerah dari Sang Pencipta.

0 Comments:

Post a Comment