Wednesday, 27 March 2013

Atikah Tak Gila

Siang itu, seorang ibu berlari menghindari keramaian orang-orang ditengah-tengah pasar. Membawa dompet dalam genggaman, memegang erat ranjang plastik berisi belanjaan yang hampir keluar dari tempatnya. Melewati teriknya siang, hembusan debu jalanan yang sudah tak bias dikompromi lagi oleh penyegar udara dalam tubuh. Semua orang tak ada yang tahu mengapa wanita separuh baya ini berlari, hanya sapaan orang-orang yang sedikit ejekan memperlakukannya dengan hina. Entah mengapa wanita separuh baya ini diperlakukan layaknya manusia yang hina, namun wanita ini hanya memberikan senyuman kecil pada semua orang. Tujuannya adalah sebuah gubuk kecil yang hampir rubuh, hidup sendiri dan tak pernah ada orang yang mengajaknya bercengkrama layaknya tetangga yang baik. Sewajarnya kehidupan manusia itu diberikan kebebasan untuk berinteraksi dengan semua orang, namun wanita ini tak terlalu mempedulikan dengan apa yang dialaminya selama beberapa tahun terakhir dalam hidupnya. Atikah namanya, seorang wanita yang setengah tak sadar, dan ditinggalkan oleh seluruh keluarganya. Bukan karena ia gila, namun ia hanya terlalu berimajinasi tinggi dimasa lalunya. Kini Atikah berumur 46 tahun, memiliki 2 anak yang mulai tumbuh dewasa dalam lingkungan yang sedikit terasingkan. Tapi kini Atikah hanya hidup sendirian, bukan karena keluarganya menyingkir dari langkah hidupnya namun karena Atikah yang tak sengaja terhindar dari kebahagian berkumpul satu atap dengan keluarganya. Kejadiannya terjadi beberapa tahun yang lalu, saat itu Atikah hanya bisa bersedih dalam hati. Bukan berarti tak dapat mengungkapkan kesedihan, namun Atikah merasa kebingungan dengan tingkah semua orang yang menangisi seorang nenek tua rentak yang terbaring ditengah rumah ditutupi oleh kain selendang dan terbungkus kain putih. Ia kebingungan sampai-sampai bertanya pada anak perempuannya, “mengapa semua orang menangis neng???”, Tanya Atikah. Namun anak perempuannya hanya bisa menjawab dengan tangisannya yang semakin keras. Hari itu tak banyak orang yang mengantar seorang nenek yang Atikah piker aneh dibungkus dengan kain putih lalu ditandu keluar rumah, atikah hanya berfikir nenek itu diantar jalan-jalan karena sudah tua. Namun beberapa saat kemudian, Atikah menangis dengan keras dan membungkam semua orang yang mengantar nenek itu ke pemakaman. Entah apa alasannya Atikah menangis sangat keras, namun yang ia pikirkan hanya rasa belas kasihan orang-orang padanya dan akhirnya akan memberikan uang atas ketidak mapuannya menahan tangis. Sepanjang jalan pulang dari pemakaman, Atikah terus menghitung berapa uang yang ia dapat dari pekerjaan yang mendadak ia lakukan dipemakaman tadi. “wah dapat 17.200, cukup sepertinya untuk membeli tas belanja.”, pikirnya. Sedangkan seluruh keluarga tak bisa mengangkat kepalanya, wajah mereka masih terlihat basah dari sisa-sisa tangisan sepanjang jalan menuju pemakaman. Keesokan harinya, Atikah bangun sangat pagi sebelum anak-anaknya bangun menuju pasar untuk belanja kebutuhan dapur. Setiap hari Atikah melakukan hal ini, meskipun anak-anaknya tau namun mereka hanya membiarkan Atikah untuk berbuat semaunya. Pagi-pagi sekali Atikah sudah menyusuri jalanan sawah yang becek bekas hujan kemarin, namun itu bukanlah halangan yang bisa membuat atikah berhenti dari tujuannya. “ah ini sudah biasa, lagi pula aku tak pernah memakai sandal yang bagus.”, ucapnya. Sesekali orang-orang yang menjaga sawah mengolok-olok dia, namun Atikah memiliki jurus khusus agar olok-olok itu berhenti dengan melempari orang-orang dengan batu. Kemudian, ia melihat gerbang pasar yang kumuh sudah terlihat sangat indah. “belanja belanja…”, ucapnya. Ia mulai menyusuri gelapnya pasar, membawa tas kucel untuk belanja dan menempatkan semua belanjaan kedalam tas. Ia mengambil seluruh belanjaannya, namun hanya belanjaan yang tertata diatas meja yang bisa ia dapatkan karena belanja ditoko-toko tidak bisa ia lakukan. Atikah cukup mengambil apa yang ia butuhkan, ia ambil sayur-sayuran kadang daging ayam ataupun ikan kemudian berlalu pergi. Atikah tak pernah sekalipun membayar apa yang ia ambil, dan para pedagangpun tak pernah menghiraukan apa yang Atikah ambil dari dagangan mereka. Para pedagang dipasar memang telah mengetahui kondisi Atikah seperti itu, namun terkadang Atikah mendapatkan bentakan dari para pedagang bila dagangan yang Atikah ambil terlalu banyak. Saat itu Atikah mengambil daging ayam yang sudah bersih terpotong untuk pembeli yang telah lama menunggu, “hei wanita gila, pergi sana cari daging yang lain!!!”, bentak pedagang daging. Namun atikah hanya tersenyum dan berlari membawa daging ayam itu.

0 Comments:

Post a Comment