Wednesday, 27 March 2013

Kasih, Ini Karyaku

Aku masih berdiri menghadap jendela yang penuh dengan orang-orang yang menghadap pada seorang lekaki berkemeja dan berdasi, semua orang begitu menghormati dan mendengarkan semua hal yang ia bicarakan didepan kelas. Terkadang aku iri dengan mereka yang bias santai duduk diatas kursi yang nyaman, mereka mendengarkan dengan penuh konsentrasi sambil meletakkan tangan mereka diatas meja yang menempel pada kursi duduknya. Seringkali orang-orang didalam melihatku dari dalam, merasa iba dan kasihan melihatku. Terkadang lelaki itu melihat dan tersenyum padaku, namun dari banyaknya orang disana, hanya seorang perempuan berjilbab yang tak mau menoleh keluar melihatku. Namanya Cita, seorang mahasiswi yang lembut dan sangat tau arti kesopanan, namun aku mengecewakannya sampai tak ada lagi sapaan yang lembut bagiku. Beberapa waktu lalu, tepatnya diawal tahun. Awal cerita pertemuanku dengan Cita, gadis yang menjadi pujaan hati dan tujuan hidupku….. Sore itu, keringatku masih sangat terasa basah ditambah suaraku yang mulai habis setelah turun naik angkutan umum dan bis untuk menghibur para penumpang. Aku adalah Raga seorang musisi yang tak pernah peduli dengan besarnya upah yang diberi pendengar padaku, alasannya karena aku hanyalah seorang musisi jalanan. Bandung adalah daerah yang luas, bebas dan menyenangkan. Bagiku Bandung adalah surganya para musisi sepertiku, selalu bias mengeksplorasi kemampuanku karena taka da hambatan yang membuat para musisi untuk berkarya. Ya walaupun hanya berkarya lewat bis atau angkutan umum, namun aku bangga dengan pencapaianku yang selalu ditunggu oleh para penumpang untuk menghibur selama perjalannya sampai tujuan. Aku memang tak seperti musisi lainnya yang menghibur penumpang dengan berkelompok, contohnya kelompok yang memakai gitar, biola, mini drum ataupun tape recorder. Aku hanya mengandalkan gitar bututku untuk menghibur para penumpang, gitar butut yang diberikan ayah saat masih ada didunia. Walau sudah butut, namun aku akan memakainya sampai aku bisa membuat makam ayah lebih indah seperti yang dilakukan orang-orang terhadap makam orang yang sudah meninggal. Kehidupanku tak semulus yang sudah diceritakan diatas, karena hidupku dipenuhi oleh pergaulan-pergaulan yang diluar batas. Ya ku akui, aku bukanlah orang yang sehat secara jasmani apalagi rohani. Aku seorang muslim jum’at dan hari raya, karena selain 2 hal itu aku bukanlah muslim. Setengah dari penghasilanku mengamen selalu ku belikan air pelepas beban, itupun tak sendiri karena aku memiliki banyak teman yang setia. Setelah lelah mengamen, aku pulang kegubuk tua yang aku sewa dari penduduk daerah ini. Terhitung murah dibandingkan dengan kontrakan-kontrakan lainnya, namun bukan karena murah tapi pemilik sangat mengerti dengan kondisi kehidupanku. Setiap jam 10 malam, aku keluar rumah dan berkumpul dengan teman-teman. Ku keluarkan uang untuk membeli air pelepas beban itu, memang setiap malam tak lebih dari 2-3 botol yang kami beli untuk pelepas penat selama seharian naik turn bis untuk mengamen. Semalam suntuk kami mengobrol, bernyanyi, saling mengejek dan bercerita sampai semua air dalam botol itu telah habis. Ya aku memang seorang pemabuk, namun bukan pemabuk berat seperti orang-orang. Aku masih bisa berbicara dengan baik setelah minum, bahkan tak banyak orang yang mengetahui aku mabuk tapi aroma mulutku saja yang membuat orang sedikit takut kepadaku dimalam hari. Aku berjalan diantara gang-gang yang sempit menuju rumah kontrakanku, terasa sangat jauh dalam keadaanku seperti ini. Aku duduk dipelataran rumah berpintu satu ini, aku hanya berfikir kapan tuhan memberikan semua keadilan bagiku. Aku akan selalu menantang apa yang tuhan berikan padaku, rasa tak percayapun selalu ada saat tuhan mengambil satu-satunya orang yang kumiliki didunia ini. “aku tak akan pernah percaya pada-Mu tuhan, sebelum Kau memberikan semua keadilan padaku…”, ungkapku. Namun sebelum sampai pada kasur kapuk yang nyaman didalam rumahku, dunia terasa sangat gelap dan indah untuk ku tempati. Tak seperti biasanya tidurku kali ini sangat nyaman, mimpiku sangat indah. Dari jauh aku melihat seorang perempuan dari gelapnya mimpi, perempuan itu mengenakan pakaian putih yang disebut mukena duduk diatas sejadah yang indah. Cahaya itu mengelilingi tubuhnya, sedangkan gelap tetap ada disekitarku. Aku hanya berfikir, apa dia dewi yang turun dari langit seperti film-film yang selalu aku tonton ditelevisi. Kebingungan ini membuatku mengumpulkan semua keberanian untuk mendekatinya, namun saat akan menepuk pundaknya, ia tiba-tiba hilang dan berubah menjadi seorang kakek tua yang tersenyum. “de bangun, kita shalat shubuh berjama’ah di mushala.”, ajaknya. Aku tiba-tiba terbangun dengan mataku yang masih ling-lung, “oh iya bah, ntar Raga nyusul.”, jawabku. Namun tak berarti aku akan menyusul ke mushala, itu hanya alasan yang sering aku berikan pada abah pemilik kontrakan. Abah tau kalau aku tak akan mau menyusul, namun Abah tak habis kesabaran untuk selalu membangunkanku saat shubuh. Abah seperti pengganti ayah, ya pengganti yang sangat pantas karena perhatiannya begitu besar. Apalagi Abah tinggal sendirian dan mengurusi semua kontrakan sendirian karena anak-anaknya telah berkeluarga, sedangkan Ambu (istri Abah) sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Terkadang aku membantu bila Abah menyuruh, dan Abahpun selalu memberikan uang rokok yang setiap kali aku tolak. Akupun tak pernah sungkan dan menolak bisa Abah meminta bantuanku, dan itulah alasannya mengapa Abah mengizinkanku tinggal dikontrakan ini. Aku buka pintu rumah, terlihat berantakan dan kotor karena sudah lama tak ku bersihkan. Rasa kantukpun hilang seketika saat melihat rumah yang nyaman ini seperti terminal bis. Ku cuci muka sampai rambutku ini basah, lalu mengambil sapu dan lap pel. Sampai pada saatnya matahari mulai tersenyum padaku, Abah pulang dari mushala dan memberikan senyumannya. “tumben de ngepel, mau ada tamu ya??”, Tanya abah. “ah ga juga bah, kotor aja keliatannya. Masa rumah mau disamain kaya terminal.”, ungkapku. Abah malah tertawa karena ungkapanku tadi, namun bukannya terus berjalan kerumahnya, malah berjalan menghampiriku. “ntar ngopi dirumah Abah ya de, sebelum ade berangkat kerja.”, ucapnya. “ya Abah ngejek nih ngomong kerja, hhee iya bah siap. Kopi susu ya..”, tawarku. “iya ntar Abah kasih sama rokoknya.”, sambil berlalu. ‘kayanya ga ada lagi dah yang bisa ngalahin baiknya empunya kontrakan di Bandung selain Abah’, pikirku. Aku bergegas mandi dan memakai kostum kebangganku, ditambah switer dan kaca mata pembantu penglihatan membuat aku seperti penyanyi-penyayi di tv. Sepatu tentunya tak akan lupa ku kenakan, jam tangan hitam butut ini jadi jimat keberuntunganku saat ngamen. Setelah siap semuanya, aku berjalan menuju kearah rumah Abah di ujung kontrakan ini. Terlihat Mang Agus sedang asik ngobrol dengan Abah, aku hanya tersenyum dan sedikit nyeletuk tentang kopi yang dijanjikan Abah. “bah yang angetnya udah ada??hee”, ungkapku. “bikin aja sendiri de, didapur ya…”, ujar Abah. Yaaa bukannya dibikinin malah suruh bikin sendiri, tapi ga apa deh biasanya suka ada dikit makanan didapur Abah. Biar aku makan dulu didalem, ga akan ketauan ini sama Abah. Sepertinya ini selalu jadi kebiasaanku, kalau disuruh sama Abah pasti aku ngutilin makanan dikulkas dapur. Saatku keluar, Mang Agus sudah sibuk memotongi rumput-rumput dihalaman Abah sedangkan Abah memegang benda elektronik yang aku tebak keluaran baru. Benerkan tablet, merknyapun bukan asal china ataupun Negara asia lainnya. Pokonya merk mahal yang ga mungkin aku beli dari penghasilanku selama sebulan. Gaya banget nih juragan kontrakan sampai bisa beli tablet kaya gitu, aku berjalan menghampiri Abah sambil sedikit mengejeknya. “baru tuh bah??ga dikenalin..??”, tanyaku. “iya de, dikasih sama anak Abah yang di Purwakarta. Katanya biar teleponnya bisa sambil liat muka Abah.”, ungkapnya sambil melihat lihat barang yang selalu ia pegang dari tadi.

0 Comments:

Post a Comment